Bedanya Entrepreneur dan Intrapreneur: Mana yang Lebih Cocok untuk Kariermu?
Di era bisnis yang ditandai oleh ketidakpastian dan disrupsi teknologi, kemampuan untuk berinovasi tidak lagi menjadi tugas eksklusif pemilik usaha. Saat ini, individu dengan semangat kewirausahaan dapat berperan penting baik di dalam maupun di luar struktur organisasi—munculnya dua jalur berbeda: entrepreneur dan intrapreneur.
Keduanya sama-sama mengusung pola pikir kreatif, adaptif, dan solutif. Namun, yang membedakan bukan hanya soal lokasi kerja atau status kepemilikan bisnis, melainkan juga pendekatan terhadap risiko, pemanfaatan sumber daya, dan dampak yang dihasilkan. Entrepreneur membangun dari nol dengan risiko personal yang besar, sementara intrapreneur mendorong perubahan dari dalam organisasi dengan dukungan sumber daya yang sudah tersedia.
Di lingkungan akademik dan profesional seperti PPM School, memahami perbedaan mendasar ini menjadi penting. Bukan hanya untuk memetakan potensi diri, tetapi juga sebagai bekal untuk memilih jalur pengembangan karier yang relevan dengan tantangan zaman.
Artikel ini akan membantu Anda mengenali lebih jauh peran strategis entrepreneur dan intrapreneur, serta bagaimana institusi pendidikan bisnis dapat menjadi katalis dalam menumbuhkan keduanya secara seimbang.
Daftar Isi
Pengertian Entrepreneur dan Intrapreneur
Sebelum membandingkan lebih jauh, mari kita mulai dari hal paling mendasar: apa sebenarnya yang dimaksud dengan entrepreneur dan intrapreneur?
Entrepreneur adalah individu yang menciptakan dan mengelola usaha baru, biasanya dari nol, dengan memanfaatkan ide atau solusi inovatif untuk memenuhi kebutuhan pasar. Mereka bertindak sebagai pemilik sekaligus pengambil keputusan utama, menanggung risiko secara langsung, dan bertanggung jawab penuh atas keberhasilan maupun kegagalan bisnisnya. Seorang entrepreneur tidak hanya memikirkan produk atau jasa, tapi juga bagaimana membangun model bisnis yang berkelanjutan.
Sementara itu, intrapreneur adalah sosok dengan jiwa kewirausahaan yang beroperasi di dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang sudah ada. Mereka bukan pemilik, tetapi diberikan ruang (dan sering kali kepercayaan tinggi) untuk merancang solusi, memimpin proyek inovatif, atau bahkan menciptakan lini bisnis baru tanpa harus memulai dari nol. Mereka menggunakan sumber daya perusahaan, namun tetap bertanggung jawab atas proses dan hasil dari inisiatif yang mereka kembangkan.
Menariknya, perbedaan ini bukan hanya soal struktur, tapi juga soal pendekatan mental dan tanggung jawab. Entrepreneur mengambil risiko dengan uang dan waktu pribadinya. Intrapreneur mengambil risiko dalam batas yang disepakati bersama organisasi. Namun keduanya memiliki satu benang merah penting: dorongan untuk menciptakan perubahan.
Pertanyaan reflektif untuk kamu:
Apakah kamu lebih suka memulai sesuatu dari nol dengan kebebasan penuh, atau kamu justru tertarik menciptakan dampak besar dari dalam sistem yang sudah ada?
Memahami posisi diri di antara dua spektrum ini bukan hanya soal pilihan karier, tapi juga cara kamu ingin berkontribusi dalam dunia bisnis yang terus bergerak maju.
Perbedaan Utama antara Entrepreneur dan Intrapreneur
Setelah memahami definisinya, sekarang saatnya masuk ke inti: apa saja perbedaan mendasar antara seorang entrepreneur dan intrapreneur?
Meskipun keduanya sama-sama berjiwa wirausaha dan bertujuan menciptakan nilai, pendekatan mereka dalam menjalankan peran sangat berbeda. Berikut ini adalah perbandingan beberapa aspek penting yang bisa membantumu mengenali posisi dan potensi diri:
Aspek | Entrepreneur | Intrapreneur |
---|---|---|
Status | Pemilik dan pendiri bisnis | Karyawan atau bagian dari organisasi |
Ruang Gerak | Bebas, membangun bisnis dari nol | Terikat pada struktur dan budaya organisasi |
Sumber Daya | Harus mencari sendiri (modal, tim, jaringan, dll.) | Memanfaatkan sumber daya internal perusahaan |
Risiko | Ditanggung sepenuhnya secara pribadi | Dibagi bersama organisasi |
Otonomi | Tinggi, keputusan sepenuhnya di tangan sendiri | Terbatas, perlu koordinasi dan persetujuan manajemen |
Tujuan Utama | Membangun bisnis yang berkelanjutan dan menguntungkan | Menciptakan inovasi atau efisiensi dalam perusahaan |
Imbal Hasil (Reward) | Langsung ke diri sendiri (profit, equity, dll.) | Umumnya berbentuk gaji, bonus, atau promosi |
Kegagalan | Berdampak langsung dan penuh terhadap dirinya | Berdampak sebagian, sering kali ditanggung bersama tim/perusahaan |
Insight menarik:
Jangan anggap intrapreneur itu “kurang berani” hanya karena tidak menanggung semua risiko. Faktanya, banyak perusahaan besar seperti Google, 3M, bahkan Gojek, tumbuh karena ide-ide brilian dari para intrapreneur di dalamnya. Tanpa mereka, inovasi akan melambat.
Pertanyaan untuk kamu renungkan:
Apakah kamu lebih nyaman bekerja dengan kebebasan penuh meski risikonya besar? Atau kamu lebih suka bereksperimen di zona aman dengan dukungan infrastruktur yang sudah ada?
Memahami perbedaan ini bukan sekadar teori—ini bisa menjadi dasar penting untuk merancang perjalanan karier dan strategi pengembangan diri yang paling sesuai dengan tujuan hidupmu.
Kelebihan dan Tantangan dari Masing-Masing Peran
Setiap peran, baik sebagai entrepreneur maupun intrapreneur, tentu punya medan perjuangan dan peluang emasnya masing-masing. Tidak ada yang benar-benar “lebih baik”—yang ada adalah mana yang lebih cocok dengan visi, gaya kerja, dan kapasitas yang ingin kamu kembangkan.
Agar kamu bisa melihat gambaran besarnya, yuk kita bedah satu per satu kelebihan dan tantangan dari kedua jalur ini:
Entrepreneur
Kelebihan:
-
-
Kebebasan penuh: Kamu bisa membuat keputusan strategis tanpa harus meminta persetujuan siapa pun.
-
Potensi keuntungan tinggi: Jika berhasil, hasilnya sepenuhnya untukmu—baik secara finansial maupun pengaruh sosial.
-
Kendali atas visi bisnis: Kamu membentuk budaya, nilai, hingga arah perkembangan usaha sesuai keyakinan pribadi.
-
Tantangan:
-
-
Risiko besar: Modal, waktu, reputasi—semuanya dipertaruhkan. Tidak ada jaminan sukses.
-
Kesepian dalam pengambilan keputusan: Tidak selalu ada tim atau mentor yang siap bantu saat krisis.
-
Tuntutan multi-peran: Harus paham semua aspek: keuangan, pemasaran, operasional, hingga hukum.
-
Intrapreneur
Kelebihan:
-
-
Dukungan sumber daya perusahaan: Kamu bisa berkarya tanpa harus memikirkan urusan pendanaan atau operasional dari nol.
-
Keseimbangan risiko: Kesalahan dan eksperimen tidak selalu berujung pada kerugian pribadi.
-
Akses ke jaringan internal dan eksternal: Kamu bisa leverage posisi perusahaan untuk mempercepat inovasi.
-
Tantangan:
-
-
Keterbatasan otonomi: Harus melewati birokrasi atau kebijakan internal yang kadang membatasi ide.
-
Pengakuan terbatas: Keberhasilan proyek mungkin tidak selalu dikaitkan langsung dengan namamu.
-
Beban ganda: Kadang harus tetap menjalankan pekerjaan rutin sambil mengembangkan proyek inovatif.
-
Kamu tipe orang yang termotivasi oleh kebebasan penuh dan tantangan membangun sesuatu dari nol? Atau kamu lebih thrive di lingkungan yang stabil, tapi tetap ingin memberi dampak lewat inovasi?
Tidak semua orang cocok jadi entrepreneur, dan tidak semua intrapreneur ingin selamanya di balik layar. Yang penting, kamu tahu posisi dan arah pertumbuhanmu—karena baik di luar maupun di dalam perusahaan, inovasi tetap bisa jadi jalan karier yang luar biasa.
Mengapa Intrapreneurship Semakin Diperlukan di Dunia Kerja Saat Ini?
Di tengah derasnya gelombang perubahan teknologi, dinamika pasar global, dan tekanan kompetitif yang makin kompleks, perusahaan tidak lagi bisa hanya mengandalkan struktur hirarki tradisional. Yang mereka butuhkan? Intrapreneur—karyawan dengan mentalitas pemilik, rasa ingin tahu tinggi, dan keberanian mencoba hal baru meski berada dalam sistem yang sudah mapan.
Mari kita bahas, kenapa peran intrapreneur makin krusial saat ini:
1. Inovasi Tidak Bisa Lagi Dimonopoli oleh Divisi R&D
Inovasi kini datang dari mana saja—dari tim pemasaran, customer service, hingga operasional lapangan. Intrapreneur mendorong munculnya ide-ide segar dari lini terdepan, karena mereka melihat langsung masalah dan peluang.
Bayangkan jika setiap karyawan merasa punya ruang untuk bereksperimen. Potensi perusahaan jadi berkali lipat, bukan?
2. Adaptasi Cepat Terhadap Perubahan
Intrapreneur biasanya lincah, responsif, dan cepat menyesuaikan diri. Di era VUCA (volatile, uncertain, complex, ambiguous), kemampuan adaptif ini bukan sekadar keunggulan—tapi keharusan.
3. Menumbuhkan Keterlibatan Karyawan
Karyawan yang diberi kepercayaan untuk memimpin proyek atau menginisiasi ide baru cenderung lebih engaged, merasa dihargai, dan loyal. Intrapreneurship jadi salah satu strategi retensi talenta terbaik—terutama untuk Gen Z dan milenial yang mencari makna dan tantangan dalam pekerjaan.
4. Meningkatkan Keunggulan Bersaing
Perusahaan yang memberi ruang bagi intrapreneur untuk tumbuh biasanya lebih inovatif, gesit, dan relevan di mata konsumen. Mereka tak hanya reaktif terhadap pasar, tapi juga proaktif menciptakan tren baru.
5. Efisiensi dari Dalam
Banyak solusi brilian justru muncul dari orang-orang yang menjalani proses harian. Intrapreneur membantu menemukan celah efisiensi, memecahkan bottleneck internal, hingga mengoptimalkan proses tanpa perlu outsourcing.Kalau kamu berada dalam organisasi, pernahkah kamu punya ide yang “di luar tugas” tapi potensial untuk membawa perubahan? Jika iya, itulah bibit intrapreneurship dalam dirimu. Tantangannya adalah: apakah kamu cukup berani untuk menyuarakannya?
Intrapreneur bukan sekadar “karyawan kreatif.” Mereka adalah penggerak perubahan dari dalam, dan semakin banyak perusahaan besar—termasuk Google, Amazon, bahkan Tokopedia—yang sukses karena memberi panggung bagi para intrapreneur-nya. Jadi, tak perlu tunggu jadi bos dulu untuk membuat dampak besar.
Apakah Mungkin Berpindah dari Intrapreneur Menjadi Entrepreneur?
Jawabannya singkat: sangat mungkin. Bahkan, banyak entrepreneur sukses saat ini memulai langkahnya sebagai intrapreneur—mengasah ide, kepemimpinan, dan pola pikir bisnis dari dalam sistem sebelum akhirnya membangun bisnisnya sendiri.
Tapi tentu, transisinya tidak sesederhana keluar dari pekerjaan lalu mendirikan usaha. Ada proses mental, skill, dan kesiapan risiko yang perlu diperhitungkan.
Apa yang Membuat Intrapreneur Lebih Siap Jadi Entrepreneur?
-
Sudah terbiasa berpikir visioner:
Intrapreneur terbiasa melihat masalah sebagai peluang dan terbiasa berinisiatif tanpa harus diperintah. -
Punya pengalaman “bermain” dengan risiko terbatas:
Meski dalam zona aman, intrapreneur sudah belajar mengelola proyek, anggaran, dan tim—modal besar saat harus mengambil risiko sepenuhnya sendiri. -
Menguasai proses bisnis dari hulu ke hilir:
Terlibat dalam ekosistem perusahaan membuat intrapreneur paham proses nyata dalam menjalankan organisasi, bukan hanya ide atau teori. -
Punya jaringan profesional yang solid:
Koneksi yang dibangun saat menjadi intrapreneur—baik internal maupun eksternal—bisa menjadi sumber dukungan saat membangun bisnis pribadi.
Tapi Perlu Diingat…
Transisi dari intrapreneur ke entrepreneur membutuhkan kesiapan yang berbeda:
-
Jika sebelumnya bisa mengandalkan tim legal, keuangan, dan infrastruktur perusahaan, kini semuanya harus dikelola mandiri.
-
Jika sebelumnya ide divalidasi bersama atasan, kini kamu harus membuktikan validasi ide lewat pasar yang nyata.
-
Risiko kegagalan, secara mental dan finansial, menjadi tanggung jawab pribadi.
Tips jika kamu sedang di fase pertimbangan ini:
-
Uji idemu kecil-kecilan dulu sebagai side project saat masih bekerja.
-
Pelajari manajemen keuangan dan pemasaran secara mandiri—dua hal krusial yang sering diabaikan.
-
Bangun kebiasaan membuat keputusan tanpa “safety net”.
Refleksi buat kamu:
Pernahkah kamu merasa ide yang kamu bangun di tempat kerja seharusnya bisa berdiri sendiri jadi bisnis? Atau kamu merasa lebih puas melihat dampak langsung dari keputusan yang kamu buat? Kalau iya, bisa jadi kamu sedang berdiri di gerbang transisi dari intrapreneur ke entrepreneur.
Ingat, intrapreneurship bisa jadi “training ground” terbaik sebelum benar-benar terjun membangun bisnis dari nol. Dan kabar baiknya: pengalaman itu tidak pernah sia-sia.
Tips Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur maupun Intrapreneur di Lingkungan Pendidikan dan Kerja
Menjadi entrepreneur atau intrapreneur bukan soal posisi atau jabatan, tapi soal mindset. Kabar baiknya, pola pikir ini bisa dibentuk—dan tempat terbaik untuk memulainya justru di lingkungan pendidikan dan kerja. Tapi bagaimana caranya?
Berikut beberapa strategi praktis yang bisa kamu coba mulai hari ini:
1. Berani Bertanya, Berani Usul
Kebanyakan inovasi besar dimulai dari satu pertanyaan sederhana: “Kenapa proses ini tidak dibuat lebih efisien?”
Latih keberanianmu untuk mengusulkan ide, bahkan saat kamu masih mahasiswa atau staf junior. Jangan tunggu jadi pemilik bisnis atau manajer dulu untuk bersuara.
2. Ikut Proyek Nyata, Bukan Sekadar Tugas Kelas
Bagi mahasiswa, carilah ruang belajar yang berbasis problem-solving dan real case. Di PPM School misalnya, mahasiswa punya kesempatan ikut serta dalam proyek bisnis, riset, atau inkubasi startup yang benar-benar aplikatif.
Mau jadi entrepreneur? Mulai dari studi pasar.
Mau jadi intrapreneur? Mulai dari bantu efisiensikan proses magangmu.
3. Latih Skill Adaptif dan Kolaboratif
Jiwa entrepreneur dan intrapreneur butuh kemampuan untuk berpikir strategis sekaligus bekerja lintas tim. Tantang dirimu untuk belajar hal baru di luar zona nyaman—baik itu teknologi baru, metode kerja agile, atau soft skill seperti komunikasi dan negosiasi.
4. Peka terhadap Masalah Kecil
Jangan remehkan “masalah sepele” di sekitarmu—karena di situlah benih inovasi biasanya muncul. Apakah ada proses yang membingungkan? Alur kerja yang lambat? Keluhan pelanggan yang berulang?
Sikap peduli dan responsif inilah yang membedakan profesional biasa dengan mereka yang punya jiwa entrepreneur atau intrapreneur.
5. Bangun Kebiasaan ‘Trial and Learn’ (Bukan Sekadar Trial and Error)
Kegagalan adalah bagian dari eksperimen. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kamu belajar dari sana dan memperbaikinya di iterasi berikutnya. Lingkungan yang sehat akan mendukung semangat mencoba ini—baik di kampus maupun kantor.
Apakah lingkungan tempatmu belajar atau bekerja saat ini sudah memberi ruang bagi gagasanmu? Jika belum, apa yang bisa kamu lakukan untuk memulai dari hal kecil?
Karena sesungguhnya, jiwa wirausaha bukan hanya untuk mereka yang mendirikan perusahaan—tapi untuk siapa pun yang ingin memberi dampak nyata, dengan cara yang kreatif, adaptif, dan berani mengambil inisiatif.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat, batas antara entrepreneur dan intrapreneur semakin kabur—karena yang benar-benar penting bukan lagi soal posisi, melainkan kontribusi. Apakah kamu ingin membangun sesuatu dari nol, atau membawa perubahan dari dalam organisasi, keduanya membutuhkan mentalitas yang sama: berani mengambil inisiatif, mampu membaca peluang, dan terus belajar.
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang peran, perbedaan, dan potensi masing-masing jalur, kamu bisa menentukan arah pengembangan diri yang paling sesuai. Dan di sinilah peran institusi seperti PPM School menjadi penting—bukan hanya sebagai tempat belajar teori bisnis, tapi juga sebagai ekosistem yang mendorong lahirnya individu-individu inovatif, baik di jalur entrepreneurship maupun intrapreneurship.